Kisah Inspiratif dari Tanzania NEGATIF Menjadi Memalukan dan Terjadi Perubahan Besar.

Kampanye Fataki: "Hati-hati Fataki."

Di era media sosial dan informasi yang bergerak cepat, opini publik sering kali terbentuk bukan karena fakta, tetapi karena tekanan sosial. Sebuah isu, meskipun awalnya tidak berdasar, bisa menjadi "kebenaran" hanya karena diulangi banyak orang. Pertentangan sana-sini, bagi kalangan ilmuan dan ahli hal ini sangat mungkin menjadi kebenaran bila dilakukan penelitian lebih lanjut.

Misalnya, isu tentang kepalsuan ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi),

Isu tentang influencer dan konten kreator menjiplak konten kreator lain yang di posting di medsos tanpa konfirmasi dan bukti yang akurat, sehingga netizen berbondong-bondong mengkritik dan menghujat. Mungkin jua kita turut serta..haha

Isu/hoak politik, medis, narasi konflik agama/sosial, dan banyak lagi.

Manusia cenderung mengikuti apa yang dipercaya oleh mayoritas, meskipun mereka tahu itu salah atau belum tentu benar. Sebelumnya kita juga perlu mengenai diri kita sendiri. Fenomena ini bukan hal baru. Uji Coba (Eksperimen) Solomon Asch pada tahun 1951 menunjukkan kuatnya tekanan sosial dalam membentuk perilaku dan pandangan seseorang. Kisah inspiratif dari Tanzania, kita belajar bahwa tekanan sosial yang sama juga bisa digunakan untuk menciptakan perubahan besar—dari ikut-ikutan salah menjadi gerakan menuju kebenaran dan keadilan.

Eksperimen Solomon Asch: Ketika Benar Menjadi Salah

Experiment Soloman Asch 1951
mencocokan panjang garis experiment ke A,B,C
Sumber: Wikipedia

Pada tahun 1951, psikolog Solomon Asch melakukan eksperimen sederhana namun mendalam. Ia mengumpulkan sekelompok orang dalam satu ruangan untuk melakukan tugas yang tampak mudah: mencocokkan panjang sebuah garis dengan salah satu dari tiga garis pilihan (A, B, atau C). Jawabannya jelas, misalnya, garis C adalah yang benar. Namun, dalam eksperimen ini, hanya satu orang yang menjadi peserta asli, sementara yang lain adalah aktor yang 
— diminta secara diam-diam kerjasama oleh Asch — memberikan jawaban salah, misalnya, memilih garis A 😀.

Awalnya, peserta asli menjawab benar. Namun, ketika aktor-aktor secara kompak memilih jawaban yang salah, peserta asli mulai ragu akhirnya ikut memilih jawaban yang salah, meskipun mereka tahu itu tidak benar. Mengapa? Karena menjadi satu-satunya orang yang berbeda terasa menyakitkan. Tekanan untuk menyesuaikan diri dengan kelompok—dikenal sebagai conformity—mendorong mereka untuk mengorbankan kebenaran demi penerimaan sosial.

Eksperimen Asch mengungkap sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial adalah antara manusia satu dengan lainnya saling ketergantungan dan membutuhkan satu sama lain. Kita ingin diterima, diakui, dan tidak dianggap aneh oleh kelompok. 

Rasa takut akan cemoohan atau penolakan sering kali lebih kuat daripada dorongan untuk mempertahankan kebenaran. Fenomena ini bisa kita lihat dalam isu ijazah Jokowi. Meskipun bukti-bukti resmi menunjukkan bahwa ijazah tersebut asli, narasi kepalsuan terus hidup karena tekanan sosial dan pengulangan di media sosial. Orang-orang yang sebenarnya ragu atau tidak yakin ikut-ikutan menyebarkan narasi ini karena takut dianggap tidak sejalan dengan kelompok mereka. Inilah kekuatan conformity yang membuat kebohongan tampak seperti kebenaran.

Namun, kisah dari Tanzania menunjukkan bahwa tekanan sosial tidak selalu harus negatif. Jika diarahkan dengan tepat, tekanan sosial bisa menjadi alat untuk perubahan positif—seperti yang terjadi dalam kampanye melawan cross generational sex di Tanzania.

Tanzania: Negeri Indah dengan Masalah Besar.

Tanzania adalah negara yang memukau dengan keindahan alamnya. Hamparan savana yang luas, satwa liar yang hidup bebas, dan Gunung Kilimanjaro yang menjulang gagah menjadikan negara ini destinasi impian bagi banyak orang. Namun, di balik pesonanya, Tanzania menghadapi masalah serius: epidemi HIV/AIDS. Menurut data dari UNAIDS, hampir 5% populasi dewasa di Tanzania hidup dengan HIV. Yang lebih memprihatinkan, perempuan muda usia 15–24 tahun tiga kali lebih mungkin terinfeksi dibandingkan laki-laki seusia mereka.

Salah satu penyebab utama tingginya angka HIV di Tanzania adalah fenomena cross generational sex, atau hubungan antara pria dewasa dan gadis remaja, yang sering disebut sebagai "sugar daddy relationships". Dalam hubungan ini, pria yang lebih tua menawarkan imbalan material—seperti uang sekolah, pakaian, atau ponsel—kepada gadis-gadis muda. Sebagai gantinya, mereka menuntut hubungan intim, sering kali tanpa perlindungan. Karena ketimpangan usia dan kekuasaan, gadis-gadis ini hampir tidak punya kuasa untuk menolak.

Yang lebih tragis, hubungan semacam ini dianggap wajar di banyak kalangan di Tanzania. Pria kaya yang menggandeng gadis muda justru dipandang sebagai simbol status dan keberhasilan. Meskipun 89% masyarakat Tanzania menganggap praktik ini salah, mereka sering kali memilih diam karena membicarakan seks dan hubungan dianggap tabu. Akibatnya, budaya berbahaya ini terus berlangsung, membawa dampak mematikan berupa penularan HIV dan kematian dini.

Fataki: Mengubah Malu Menjadi Senjata.

Pada tahun 2007, USAID, melalui Pamela White dan Mike Gehron, mengumpulkan para ahli untuk mencari solusi atas masalah cross generational sex di Tanzania. Setelah diskusi panjang, mereka menyadari bahwa pendekatan umum seperti ceramah atau peringatan tidak akan efektif. Pria-pria yang terlibat dalam hubungan ini tidak akan berhenti hanya karena dinasihati. Apalagi, budaya setempat memandang perilaku mereka sebagai sesuatu yang wajar.

Daripada menasihati para pria ini, lebih baik membuat mereka malu. Caranya, jadikan profesi "sugar daddy" itu memalukan dan tidak keren. Untuk mencapai tujuan ini, mereka menciptakan tokoh bernama Fataki. Nama Fataki berasal dari bahasa Swahili (bahasa dari Afrika) yang berarti "kembang api" atau "ledakan"—sesuatu yang berbahaya dan harus dihindari😬.

Fataki digambarkan sebagai laki-laki tua yang genit, tapi selalu gagal saat mendekati perempuan muda. Ia selalu jadi bahan tertawaan di mana-mana.

Kampanye Fataki diluncurkan melalui iklan radio, cerita, dan pesan-pesan publik. Dalam setiap cerita, Fataki selalu dipermalukan—baik oleh penolakan gadis muda maupun cemoohan masyarakat. Salah satu iklan menampilkan seorang gadis muda yang dengan tegas menolak seorang "Fataki" sambil berkata, “Kamu sudah tua, seperti ayah atau kakekku. Jika ingin membantu, berikan uang dan biarkan aku pergi.” Pesan ini sederhana namun kuat: perilaku ini tidak hanya salah, tetapi juga memalukan.

Hasilnya luar biasa. Dalam beberapa bulan, 44% masyarakat Tanzania spontan ketika ditanya tentang pria tua yang mengejar gadis muda dengan sebutan 
"Fataki". Istilah ini menjadi bagian dari bahasa sehari-hari. Di pasar, bar, atau pesta, jika ada pria tua yang menggoda gadis muda, orang-orang cukup berbisik, “Eh, ada Fataki,” disertai tawa kecil. Fataki bukan lagi simbol status, tetapi celaan yang membuat malu.

Kekuatan Tekanan Sosial untuk Perubahan.

Kampanye "Fataki" ini berhasil karena memanfaatkan cara kerja tekanan sosial, mirip dengan eksperimen Asch. 

Jika seseorang takut dianggap aneh atau diejek karena berbeda pendapat, maka kita bisa membalikkan keadaan dengan menjadikan perilaku yang sebenarnya salah itu sebagai sesuatu yang memalukan dan patut dicemooh.

Di Tanzania, para pria tua itu berhenti menjadi "sugar daddy" bukan karena mereka tiba-tiba sadar dan merasa bersalah, tetapi karena mereka takut dicap sebagai Fataki. Fataki adalah tokoh yang selalu diolok-olok dan tidak dihormati.


Secara singkat, cerita Fataki menunjukkan bahwa rasa malu bisa lebih efektif mengubah perilaku daripada rasa bersalah. 

Kisah ini mengajarkan kita bahwa tekanan dari lingkungan atau masyarakat (tekanan sosial) adalah alat yang sangat kuat untuk membuat perubahan.

Mungkin, kita bisa meniru cara Tanzania. Kita bisa membuat cerita atau pandangan baru yang justru membuat penyebar hoaks merasa malu. Bayangkan jika menyebarkan berita bohong atau hoaks dianggap sebagai hal yang "kuno" atau "memalukan" di mata masyarakat.

Dengan mengubah bagaimana masyarakat memandang tindakan tersebut, kita bisa mendorong orang untuk berhenti menyebarkan atau percaya pada informasi yang salah.

Pelajaran untuk Kita Semua

Kisah Fataki di Tanzania bukan hanya tentang memerangi HIV, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa mengubah budaya yang salah tanpa kekerasan atau konfrontasi langsung. Ini tentang memahami sifat manusia: kita ingin diterima, dan kita takut dianggap berbeda. Namun, alih-alih membiarkan sifat ini digunakan untuk menyebarkan kebohongan atau perilaku berbahaya, kita bisa mengarahkannya untuk kebaikan.

Di Indonesia, kita menghadapi banyak tantangan serupa, mulai dari hoaks di media sosial hingga budaya yang merugikan, seperti korupsi atau diskriminasi. Kampanye Fataki mengingatkan kita bahwa perubahan tidak selalu membutuhkan hukuman atau ceramah panjang. Kadang-kadang, yang dibutuhkan hanyalah cara cerdas untuk membuat perilaku salah menjadi tidak keren, memalukan, atau bahkan lucu untuk diikuti.

Bayangkan jika kita bisa menciptakan "Fataki" versi Indonesia untuk melawan hoaks. Mungkin sebuah kampanye yang membuat penyebar berita bohong dianggap sebagai "kuno" atau "tidak gaul." Atau kampanye yang mengajak masyarakat untuk menertawakan mereka yang terjebak dalam narasi usang, alih-alih mempercayainya. Dengan cara ini, kita bisa mengubah ikut-ikutan salah menjadi ikut-ikutan benar—menuju perubahan besar yang menginspirasi.

Kesimpulan

Baik percobaan Solomon Asch maupun kampanye Fataki di Tanzania menunjukkan hal yang sama: tekanan dari lingkungan atau masyarakat (tekanan sosial) punya kekuatan besar untuk memengaruhi cara orang bertindak.

Cerita dari Tanzania membuktikan bahwa kekuatan ini bisa dipakai untuk hal yang baik. Dengan membuat tindakan yang salah terlihat memalukan, kita bisa mendorong masyarakat untuk melakukan hal yang benar. Mereka melakukan itu bukan karena tiba-tiba jadi lebih pintar atau bermoral, tapi karena mereka ingin diterima dan dihargai oleh orang lain.

Di zaman sekarang yang banyak sekali informasi dan pendapat, kita harus belajar dari Tanzania. Jangan cuma melawan berita bohong dengan fakta saja. Lebih dari itu, ciptakanlah cerita atau pandangan yang membuat kebenaran itu terlihat KEREN, dan kebohongan itu jadi sesuatu yang MEMALUKAN.

Karena pada dasarnya, manusia itu tidak cuma ingin jadi benar, tapi kita juga ingin dianggap benar oleh orang lain. Dan di situlah letak kekuatan besar untuk membuat perubahan yang nyata. Semoga!


Sumber:
  1. https://id.quora.com/Mengapa-orang-lain-bisa-menilai-saya-buruk-padahal-mereka-belum-mengenal-saya-secara-langsung-dan-mengapa-mereka-dengan-mudah-percaya-omongan-orang-lain-padahal-itu-belum-tentu-benar
  2. https://ccp.jhu.edu/2013/05/28/jhu%E2%88%99ccp-research-reveals-explosive-effects-from-fataki-campaign/