Jejak Tato, Pengayauan, dan Tumbang Anoi Suku Dayak

Pria bertato dan kepala kayau (Sumber: https://bonging.tumblr.com/)

Bila kita pergi ke perkampungan pulau Kalimantan tidak jarang kita menemukan dan melihat banyak orang terutama suku Dayak memiliki tato pada tubuh mereka. Tato ini merupakan tradisi yang turun temurun dari nenek moyang. Pembuatan dan penempatan tato ini tidak dilakukan sembarangan melainkan melalui serangkaian peristiwa dan ritual khusus.

Tato yang kononnya merupakan lambang keberanian dan kejantanan seseorang. Seorang wanita baru bisa memilih dan menemukan pujaan hatinya dengan dibuktikan si pria pujaan telah membuktikan keberaniannya dengan melakukan serangkaian kewajiban yaitu melakukan pengayauan yaitu "memenggal kepala" sebagai sesaji/tumbal atas konsekuensi adat atau situasi tertentu.

Pemberian tato motif Dayak adalah penghargaan pasca pengayauan tersebut berupa tato motif Dayak di tangan. Dalam suku Dayak Iban dinamakan motif Tegulun yaitu tato pada tangan dengan ciri khas garis-garis melintang dan melingkar dengan mengikuti pola telapak tangan. Untuk Pangkalima suku Dayak di daerah Kalimantan Tengah tato yang diberikan sebagai bukti kesatria ini berupa tato dengan pola melingkar-lingkar pada tangan.

Mendengar kata "Kayau" bagi kebanyakan orang sangat menakutkan dan bernuansa mistis. Pada dasarnya Kayau sendiri bukan artinya "memburu" semaunya, namun tepatnya merupakan "hukum sebab-akibat" dalam masyarakat adat Dayak itu sendiri. Berani berbuat berani bertanggung jawab pula, demikian pernyataan bahwa tindakan mengayau dan akhirnya memenggal kepala musuh merupakan keharusan atas situasi tertentu sehingga itu dilakukan.

Mengayau dilakukan memiliki tujuan yang jelas, sistematis dan tidak asal-asalan oleh seorang kesatria. Mengayau tidak diartikan memburu siapa saja yang tidak ada sebab akibatnya karena suku Dayak juga mempunyai adat dan aturan yang melarang soal pembunuhan, dengan sebutan hasaki/manyaki (Dayak Katingan), Putang (Dayak Katingan).

Menurut tutur sejarahnya ada 3 jenis kayau menurut versi Kapuas (Dayak Ot Danum) dan Katingan (Dayak katingan, sub suku Dayak Ngaju) sebagai berikut:
1. Kayau Tabuh, yang dilakukan suku Dayak Kenyah dahulu sebelum penjajahan ataupun misionaris datang ke pulau Kalimantan. Kayau Tabuh dilakukan dengan mengharuskan mereka memotong kepala musuh atau oleh karena keterpaksaan.

2. Kayau Asang, dilakukan oleh karena seseorang mencari atau menginginkan kekuasaan, kekuatan atau hanya ingin mencari status sosial yang lebih terkemuka dan tinggi dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut.

3. Kayau Adat, yaitu kepentingan pengayauan "memenggal kepala" untuk upacara adat dan pelengkap tiwah yang fungsinya adalah untuk menjadikan budak di alam nirwana bagi yang kena kayau. Dalam upacara adat tiwah itu juga dilakukan upacara pengangkatan tulang belulang orang yang sudah mati, untuk nantinya dipindahkan ke Sandung (Dayak Kahayan) atau Pambak (Dayak Katingan) bertujuan menyempurnakan perjalanan orang yang sudah mati ke alam nirwana ke-7.

“Kayau Adat” dilakukan kepada si penghina yang menghina seseorang (terutama pada suku Dayak Kalteng) yang dapat mendatangakan kutuk dari Ranying Hatalla Langit kepada orang lain dan kampung halaman yang dia huni. Karena penghinaannya dia dihukum oleh tetua adat dengan memenggal kepalanya. Namun, Adat mengayau ini sudah lama dihentikan melalui kesepakatan oleh semua kelompok suku Dayak sejak Pertemuan damai Tumbang Anoi dari 1 Januari 1894 sampai 30 Maret 1894, di Rumah Betang Damang Batu.

4. Kayau Habales/Hapalas, dilakukan akibat balas dendam akibat kekalahan peperangan yang pernah terjadi atau karena ada suku lainnya pernah mengayau pada masyarakat suku tersebut.


Suasana Rapat Perjanjian Tumbang Anoi Damang Batu Kalteng 1894

Dengan adanya perjanjian Tumbang Anoi yang diprakarsai pemerintah kolonial Belanda (VOC) kala itu semua kelompok suku Dayak menyepakati dan menghapuskan tradisi segala bentuk sebab akibat yang menyebabkan seseorang harus mengayau. Dari saat itu sampai sekarang ini persatuan untuk tidak saling menumpahkan darah ini justru membuat suku Dayak semakin kuat keberadaannya. Pada akhirnya pemerintah kolonial semakin tersingkir akibat tekanan pribumi dan pelan-pelan meninggalkan pulau Dayak Kalimantan.

Perjanjian Tumbang Anoi sangat penting menyisakan sejarah yang sangat penting bagi persatuan suku Dayak di Nusantara ini. Tato Dayak sebagai lambang keberanian, kesatria, pemersatu dan identitas tetap mewarnai suku Dayak hingga kini dan bukti sejarah perjuangan hidup suku Dayak masa lampau dalam menemukan kemasyurannya.


Referensi:
1. http://sejarah.kompasiana.com/2012/11/09/sejarah-mengayau-suku-dayak-507825.html
2. https://folksofdayak.wordpress.com/2013/09/23/kinyah-mandau/ 

3. http://humabetang.web.id/dayak/budaya/2013/makna-tato-bagi-masyarakat-dayak
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url