![]() |
Sumber Gambar: https://www.pajak.com |
1. Latar Belakang
Dalam dunia kerja dan bisnis saat ini, penggunaan tenaga ahli atau jasa profesional dari luar negeri sudah menjadi hal yang lumrah. Pertanyaan yang sering muncul adalah: berapa besar pajak yang dikenakan atas jasa tenaga ahli dari luar negeri yang tidak bertempat tinggal di Indonesia?
Jawabannya tidak bisa dilepaskan dari Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), khususnya UU No. 36 Tahun 2008 yang merupakan perubahan keempat dari UU No. 7 Tahun 1983. Selain itu, juga ada aturan pelaksana berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Dirjen Pajak (PER), dan ketentuan internasional berupa Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
2. Siapa yang Disebut Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN)?
Menurut Pasal 2 UU PPh No. 36 Tahun 2008, subjek pajak luar negeri terdiri dari dua kategori:
-
Orang pribadi:
-
Tidak bertempat tinggal di Indonesia.
-
Berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
-
-
Badan:
-
Tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia.
-
Kedua subjek pajak tersebut bisa saja:
-
Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, atau
-
Menerima penghasilan dari Indonesia tanpa melalui BUT.
3. Apa Itu Bentuk Usaha Tetap (BUT)?
Masih di Pasal 2, ayat (5), disebutkan bahwa BUT adalah bentuk usaha yang dipakai oleh WPLN untuk menjalankan usaha di Indonesia. Bentuknya bisa sangat beragam, misalnya:
-
Kantor cabang, kantor perwakilan, pabrik, bengkel, gudang.
-
Tempat kedudukan manajemen.
-
Proyek konstruksi, instalasi, atau perakitan.
-
Pemberian jasa lebih dari 60 hari dalam 12 bulan.
-
Agen yang tidak independen.
-
Bahkan termasuk komputer/agen elektronik untuk transaksi internet.
👉 Intinya, kalau WPLN punya keberadaan fisik atau operasional tetap di Indonesia, maka dianggap BUT, dan perlakuan pajaknya sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN).
4. PPh Pasal 26 untuk WPLN
Nah, bagian pentingnya ada di Pasal 26 UU PPh No. 36 Tahun 2008.
Disebutkan bahwa, atas penghasilan dengan nama dan bentuk apapun yang dibayarkan oleh pihak Indonesia (baik pemerintah, perusahaan, atau penyelenggara kegiatan) kepada WPLN selain BUT, dikenakan pajak 20% dari jumlah bruto.
Jenis penghasilan yang dikenakan PPh 26 antara lain:
-
Dividen.
-
Bunga (termasuk diskonto, premium, jaminan pengembalian utang).
-
Royalti dan sewa.
-
Imbalan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
-
Hadiah atau penghargaan.
-
Pensiun dan pembayaran berkala lain.
-
Premi swap dan lindung nilai.
-
Keuntungan karena pembebasan utang.
👉 Jadi, kalau ada tenaga ahli luar negeri memberikan jasa di Indonesia tanpa BUT, atas honorariumnya langsung dipotong PPh 26 sebesar 20% dari bruto.
5. Tax Treaty (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda – P3B)
Namun, angka 20% ini tidak selalu final. Indonesia telah menjalin Tax Treaty dengan 71 negara (data DJP). Tax Treaty adalah perjanjian antarnegara untuk:
-
Menghindari pajak berganda.
-
Mengatur hak pemajakan antar negara.
-
Memfasilitasi pertukaran informasi pajak.
Contoh:
Jika Indonesia punya perjanjian pajak dengan Jepang, bisa saja tarif PPh 26 atas jasa tenaga ahli Jepang turun dari 20% menjadi 10%, bahkan 0%. Semua tergantung isi Tax Treaty.
6. Syarat Mendapatkan Keringanan Tax Treaty
Untuk bisa menikmati tarif pajak lebih rendah, WPLN wajib menunjukkan dokumen resmi berupa:
-
SKD (Surat Keterangan Domisili) dari negara asal.
-
Formulir DGT Form yang disediakan Ditjen Pajak Indonesia.
Dasar hukumnya: PER-25/PJ/2018.
Tanpa SKD, pihak Indonesia wajib memotong 20% sesuai Pasal 26. Jadi, meskipun ada Tax Treaty, tarif ringan tidak berlaku otomatis.
7. Ilustrasi Kasus
Misalnya, sebuah klinik di Indonesia mengundang tenaga ahli dari Belanda untuk pelatihan 1 minggu. Honor yang dibayarkan adalah Rp100 juta.
-
Jika tanpa Tax Treaty → otomatis dipotong PPh 26 sebesar 20% = Rp20 juta.
-
Jika ada Tax Treaty Indonesia–Belanda yang mengatur tarif hanya 10%, dan tenaga ahli Belanda menyerahkan SKD → potongan pajak hanya Rp10 juta.
👉 Di sini terlihat jelas manfaat Tax Treaty.
8. Bedanya dengan Wajib Pajak Dalam Negeri
Kalau tenaga ahli tersebut tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari, maka statusnya berubah jadi Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN).
-
Artinya, penghasilannya tidak lagi dikenakan PPh 26.
-
Tetapi, akan dihitung dengan mekanisme PPh Pasal 21 atau PPh tahunan sesuai tarif progresif (5–35%).
9. Aturan Teknis di PMK 252/PMK.03/2008
PMK ini menjelaskan lebih detail tentang tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh 26. Di antaranya:
-
Pihak Indonesia (misalnya perusahaan, yayasan, atau lembaga) wajib bertindak sebagai pemotong pajak.
-
Pajak dipotong saat penghasilan dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau saat jatuh tempo.
-
Pajak yang sudah dipotong disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi.
-
Pemotong pajak wajib membuat bukti potong untuk WPLN.
10. Kesimpulan
-
WPLN (orang pribadi/badan) tanpa BUT di Indonesia → dipotong PPh 26 sebesar 20% dari bruto.
-
Tarif 20% ini bisa lebih rendah atau bahkan 0% jika ada Tax Treaty dan WPLN menyerahkan SKD.
-
Kalau tinggal lebih dari 183 hari, statusnya berubah menjadi WPDN dan ikut skema PPh progresif.
-
Pajak dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh pihak pemberi penghasilan di Indonesia.
11. Penutup
Memahami ketentuan PPh 26, WPLN, dan Tax Treaty sangat penting, terutama bagi organisasi atau perusahaan yang sering bekerja sama dengan tenaga ahli asing. Salah langkah bisa berakibat pada sanksi administrasi pajak.
Bagi non-akuntan atau non-konsultan pajak, pengetahuan dasar ini akan membantu untuk:
-
Tidak salah memperhitungkan biaya jasa asing.
-
Mengetahui kapan harus meminta SKD dari mitra luar negeri.
-
Mengerti perbedaan perlakuan pajak antara WPLN dengan WPDN.
Referensi:
- UU PPh No. 36 Tahun 2008.
- PMK No. 252/PMK.03/2008.
- PER-25/PJ/2018.
- Situs resmi DJP: pajak.go.id.
- https://www.pajak.go.id/id/penerapan-persetujuan-penghindaran-pajak-berganda.
HRD Pajak Pajak Penghasilan Tax Treaty Wajib Pajak Luar negeri