![]() |
Pengrusakan Tanah Hak Ulayat Adat Laman Kinipan (Sumber: Mongabay) |
Di berbagai pelosok negeri, masih banyak hutan-hutan alam yang berdiri tegak menjadi penopang kehidupan. Namun, ironisnya, justru di wilayah inilah kerap muncul klaim sepihak dari pihak perorangan maupun korporasi yang merasa memiliki lahan—entah karena alasan investasi, ekspansi bisnis, atau sekadar spekulasi aset. Tragisnya, sebagian dari klaim ini terjadi di atas wilayah yang merupakan hak ulayat masyarakat adat.
Perilaku seperti ini bukan hanya bentuk keserakahan, tetapi juga cermin dari hilangnya etika, adat, dan sopan santun dalam bermasyarakat. Mereka menutup mata atas keberadaan komunitas yang telah hidup turun-temurun menjaga hutan dan tanah leluhur mereka. Mereka pura-pura tidak tahu aturan, padahal seharusnya memahami dasar konstitusi negara dan tata hukum yang berlaku.
Menciptakan Bom Waktu dan Politik Pecah Belah
Ketika pihak luar mengklaim lahan hak ulayat, mereka bukan sekadar menyerobot tanah, melainkan juga menciptakan bom waktu konflik sosial.
Biasanya, konflik tidak langsung melibatkan mereka secara terbuka. Mereka melempar batu lalu sembunyi tangan. Warga lokal yang semula hidup rukun tiba-tiba terpecah menjadi kelompok pro dan kontra, saling curiga, bahkan saling berhadapan di lapangan. Aparat keamanan pun sering kali justru berdiri di pihak korporasi karena mendapatkan imbalan jasa pengamanan, alih-alih menjadi penengah yang netral.
Inilah pola klasik politik devide et impera—pecah belah—yang diwariskan kolonialisme, kini masih terus dipakai oleh sebagian pihak berkepentingan. Akibatnya, luka sosial menganga, rasa saling percaya antarwarga hancur, dan aparat pun kehilangan legitimasi moral di mata rakyat.
Dengan situasi ini saja, sesungguhnya topeng para korporasi sudah terbuka: mereka lebih mengutamakan keuntungan daripada keadilan sosial.
Konstitusi Menjamin Hak Masyarakat Adat
Sebagian pihak berdalih bahwa belum ada Undang-Undang khusus tentang Masyarakat Adat, sehingga mereka merasa bebas melakukan ekspansi lahan. Padahal, ini hanya alasan semu.
Jika kita membaca Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlindungan terhadap masyarakat adat telah diakui secara jelas.
-
Pasal 18B UUD 1945 menyatakan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.” -
Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 menegaskan:
“Identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Artinya, negara secara konstitusional mengakui keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisional mereka. Maka, tidak ada alasan hukum, moral, maupun logika bisnis untuk menafikan keberadaan mereka.
Definisi Masyarakat Adat: Bukan Sekadar Komunitas, tapi Penjaga Alam
Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat bahkan telah merumuskan definisi yang sangat jelas:
“Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disebut Masyarakat Adat adalah sekelompok orang yang hidup secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu, memiliki asal-usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, identitas budaya, hukum adat, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum.”
Definisi ini menunjukkan bahwa masyarakat adat bukan hanya komunitas sosial, melainkan entitas kebudayaan sekaligus penjaga ekologis wilayahnya. Mereka memiliki kedaulatan adat, pranata sosial, dan ikatan spiritual terhadap tanah dan lingkungan mereka.
Karena itu, setiap rencana usaha perkebunan, tambang, atau bentuk eksploitasi lain seharusnya dimulai dari konsultasi mendalam dengan masyarakat adat. Tidak cukup hanya hitung-hitungan untung-rugi di atas kertas tanpa memperhitungkan dampak sosial, konflik agraria, dan kerusakan ekologis yang akan terjadi.
Konflik Terjadi Karena Musyawarah Dikesampingkan
Konflik sering kali muncul bukan karena perbedaan pandangan yang tak bisa disatukan, melainkan karena jalan musyawarah sejak awal diabaikan.
Bila sejak awal perusahaan menghargai keberadaan masyarakat adat, mengakui batas wilayah adat, dan bersedia bermusyawarah, konflik dapat diminimalisir. Tapi yang sering terjadi, justru ada oknum serakah yang menganggap musyawarah sebagai hambatan. Mereka merasa lebih cepat mengeksekusi lahan tanpa harus berurusan dengan “kerumitan” adat.
Padahal, ketika konflik meledak, masyarakat memiliki hak untuk mempertahankan tanah dan lingkungan mereka, bahkan sampai titik darah penghabisan.
Mengapa Masyarakat Siap Mati-Matian Mempertahankan Tanahnya
Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan identitas, jiwa, dan kehidupan itu sendiri.
Hak ulayat bukan hanya konsep hukum, melainkan wujud keterikatan spiritual dan emosional antara manusia dengan alam. Di tanah itulah mereka tumbuh, menjalani hidup, dan akan kembali ke tanah ketika meninggal.
Orang kota mungkin tahu hal ini secara teori, tapi belum tentu memahami maknanya. Inilah sebabnya masyarakat adat sering kali mempertaruhkan nyawa mereka untuk membela tanahnya, karena kehilangan tanah sama artinya dengan kehilangan hidup mereka.
Janji Palsu Perusahaan: Sejahtera yang Tak Pernah Datang
Fakta di lapangan membuktikan, klaim kesejahteraan dari perusahaan—terutama sektor sawit—sering kali tak sesuai kenyataan.
Seperti dikutip Mongabay tahun lalu, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji (Pak Midji) menyatakan:
“Keberadaan perusahaan sawit tidak berpengaruh nyata seperti yang digembar-gemborkan pengusaha. Buktinya, masih banyak desa tertinggal di Kalimantan Barat yang justru berada di sekitar konsesi sawit. Ketentuan NDPE (No Deforestation, Peatland, and Exploitation) merupakan hal mutlak untuk perkebunan berkelanjutan.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa kehadiran perusahaan besar belum tentu membawa kesejahteraan, bahkan sering kali justru menjerumuskan masyarakat sekitar ke jurang kesengsaraan—kehilangan lahan, rusaknya ekosistem, konflik horizontal, hingga kemiskinan struktural.
Langkah Solutif: Berpihak pada Rakyat dan Alam
Agar tragedi konflik agraria ini tidak terus berulang, ada beberapa langkah tegas yang perlu diambil para pengambil kebijakan:
-
Stop pembukaan lahan baru berskala besar di wilayah hak ulayat masyarakat adat. Fokuskan pada peningkatan produktivitas lahan yang sudah ada agar lebih efisien tanpa merusak kawasan baru.
-
Pemerintah daerah harus mengkaji ulang seluruh izin perusahaan yang beroperasi, mengevaluasi apakah mereka telah menerapkan prinsip keberlanjutan sesuai standar RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) atau tidak.
-
Cabut izin perusahaan yang tidak menyelesaikan konflik dengan masyarakat. Pemerintah harus hadir sebagai penengah yang membela hak rakyat, bukan sekadar menjadi perpanjangan tangan modal.
-
Tindak tegas oknum pejabat dan aparat yang terlibat dalam praktik kotor perizinan lahan. Hukum harus ditegakkan agar ada efek jera dan tidak menjadi preseden buruk.
-
Dorong lahirnya Undang-Undang Masyarakat Adat agar perlindungan hukum terhadap mereka semakin kuat dan tidak multitafsir. Draft RUU ini bisa diakses publik di situs resmi DPR RI: http://www.dpr.go.id/.
Penutup: Hentikan Keserakahan, Pulihkan Keadilan
Konflik agraria di wilayah hak ulayat bukan semata persoalan lahan, tapi menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat adat dan masa depan ekologi bangsa.
Kita tidak bisa terus membiarkan praktik keserakahan mengorbankan masyarakat adat dan alam demi keuntungan segelintir pihak. Setiap jengkal tanah yang direbut tanpa persetujuan masyarakat adat adalah penghinaan terhadap konstitusi, terhadap keadilan sosial, dan terhadap martabat kemanusiaan itu sendiri.
Sebelum semua terlambat, mari hentikan klaim sepihak dan kedok pembangunan palsu. Kembalikan hak masyarakat adat, pulihkan hutan, dan bangun masa depan yang berpihak pada keadilan, bukan keserakahan.
Adat Dayak Hutan Adat Konflik Tanah Adat Korporasi Masyarakat Adat RUU Masyarakat Adat Tanah Adat