Kisah Pantak Kayu Nisan Berukir Dayak Kanayatn

Pantak Dayak Rumah Betang Pontianak, Kalbar

Sebuah kisah konon, hidup keluarga sepasang suami-isteri, tidak mempunyai anak, lelaki dari pasangan itu bernama Ne' Ragen. Setiap harinya Dia, selalu pergi ke hutan untuk mencari binatang buruan. Suatu hari saat Ne’ Ragen sedang duduk di bawah kayu ara (pohon beringin/picus.sp) mengintai binatang buruannya, seketika itu suara tangisan bayi terdengar diatas pohon tersebut, terdengar tangisan bayi yang mati buyu’ (prematur namun sudah meninggal). Ne Ragen sangat kasihan mendengar tangisan bayi itu, lalu meletakan peralatan berburunya dan memanjat di atas kayu ara dan mengambil anak itu, dibawa pulang dan dipelihara hingga menjadi dewasa, anak itu dinamainya Doakng.

Setelah masanya, Doakng disunat dan berpantang selama tiga hari tiga malam dia tidak boleh kemana-mana dan tidak boleh memakan daging binatang seperti kijang, pelanduk, kambing dan rusa, serta beberapa jenis pakis tertentu. Kebetulan pada hari ketiga masa berpantang, datanglah seorang pemuda Laut (sebutan suku Melayu saat ini) dari Pakana tetangganya bertamu kerumah Ne' Ragen. Doakng berpesan kepada pemuda itu, bila kelaparan silahkan masak di dapur, tetapi tidak memasak sapi atau kambing, kalaupun memasaknya harus menggunakan dapur lain/di luar. Setelah itu, Doakng pergi tidur dengan ditemani senjata khas Dayak Kanayatn (tangkitn) yang tajam dalam tongkengan (tersarung) dipinggang dan tergeletak sumpit (senjata tiup berongga) dengan mata sumpit (tajam) yang diolesi getah ipuh (getah dari tumbuhan beracun dan mematikan) di sampingnya.

Pemuda Laut tadi ternyata tidak menuruti pesan Doakng, dia tetap memasak daging kambing yang dibawanya dari rumah. Yang terjadi kemudian pemuda itu berubah menjadi seekor kambing, dan ketika itu pula Doakng terbangun dari tidurnya, dia lupa diri sejenak lalu mengambil tangkitn dan memenggal kepala kambing itu. Ketika sadar, Doakng terkejut lalu dan berkata : “putuslah ini lehermu hai kambing, wahai Jubata (Tuhan), saya bukan membunuh manusia tetapi binatang, semoga dia tidak menjadi penyakit, menyentuh dan menurunkan hal yang kotor dalam hidupku, karena dia mati sesuai dengan janji dan takdir hidupnya”. Kemudian Doakng melaporkan kejadian itu pada orang tua dan sanak-saudara Pemuda Laut tadi. “Mau bagaimana lagi, dia sudah meninggal sesuai dengan takdirnya, kuburlah”, kata keluarga Pemuda Laut malang tersebut.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Doakng minta kepada kedua orang tuanya mencari ilmu/belajar dan merantau,dia kemudian minta dibuatkan baju kapoa' bergambar (baju yang digambar dari sejenis kulit kayu), jabakng (perisai), tato, dan tangkitn. Awalnya Ne' Ragen tidak menyetujui niat anaknya, tetapi karena Doakng terus-menerus meminta dan memohon, akhirnya diijinkan pergi. Hari pertama, menjelang keberangkatannya merantau Doakng mempersiapkan semua bekal dan perlengkapannya. Hari yang kedua, ia melakukan upacara adat mato' yaitu memanggil roh-roh halus (kamang), minta penyertaan dari kamang Bujakng Nyangko, Kamang Lejak, Kamang Nyado untuk menyertainya dalam peperangan. Rasi (tanda-tanda alam) yang diterimanya setelah mato' sangat baik, kemudian pada hari ketiga Doakng berangkat subuh, dia berjalan dan terus berjalan, tanpa tujuan yang pasti, menuruti langkah kakinya, akhirnya sampailah di sebuah hutan lebat dan dia beristirahat sejenak sambil menyampaikan maksud dan tujuannya kepada roh-roh halus penghuni hutan dan lereng bukit, roh-roh yang ada pada lembah (gantekng), bukit yang tinggi, dan pohon yang besar.

Tidak lama setelah upacara penyampaian maksud pada roh-roh halus tadi, terdengar suara krasak-krusuk beberapa binatang, Doakng pun bersiul tiga kali, mendengar siulan itu, binatang-binatang itu turun ke tanah mencari suara siulan, Doakng kemudian membidikan sumpit kearah seekor binatang yang paling dekat dengannya, dia siap menyumpitnya, namun kemudian binatang itu tiba-tiba mati. Doakng kebingungan dengan peristiwa itu, Tidak lama kemudian muncul tiga orang, yang saling berdebat, masing-masing mengakui bahwa dirinyalah yang menyumpit binatang tadi. Masing-masing tidak mau kalah “akulah yang menyumpitnya”. Doakng kebingungan, melihat peristiwa dan perdebatan itu, akhirnya salah satu dari mereka bertiga, yang ternyata adalah Bujakng Nyangko (Kamang yang menjelma menjadi manusia) berkata : “baiklah kita serahkan pada Doakng saja hasil buruan ini, biar dia yang memilikinya”.

Setelah mereka bertiga sepakat untuk menyerahkan binatang tadi pada Doakng, mereka membuat perjanjian untuk bertemu pada keesokan paginya di sebuah saka tumuk empat (perempatan jalan). Pesan Bujakng Nyangko kepada Doakng: “ ampagi kade kao nangar tariu tujuh kali, seok tujuh kali dan nguik tujuh kali, ganceh atakng, diri ngayo ka’ timpurukng pasuk ka’ lama bagenakng, ka’ Jongokng, tanuk tangoekng, dapeh maradai' ” (jika mendengar tariu (teriakan perang aauuuuu...) tujuh kali, siulan orang tujuh kali dan siulan suara elang (nguik) sebanyak tujuh kali, segera kamu datang). Keesokan harinya, ketika Doakng mendengar isyarat yang dijanjikan, dia bergegas pergi ke tempat pertemuan yang dipesankan yaitu di perempatan (saka tumuk ampat), dan mereka bersama-sama menuju daerah tempat pengayauan. Tiga hari tiga malam perjalanan lamanya, dan sampailah mereka di sebuah ladang, musuhnya, secara kebetulan disitu ada banyak orang yang sedang bekerja balale' (gotong-royong biasanya di ladang). Diantara orang-orang tersebut satu diantaranya seorang pamaliatn (dukun yang mengobati penyakit dengan cara ritual baliatn), dia mampu menghidupkan mayat.

Mereka kemudian berperang melawan orang-orang tersebut dan menang, tidak semua kepala dalam pengayauan itu dibawa, hanya satu yang kepala yang dibawa yaitu kepala pamaliatn tadi. Oleh ketiga kamang tadi, Doakng disuruh membawa kepala itu dan dipesan kepadanya, sebelum sampai di rumah, dia harus nariu (teriak perang auuuuuu..), bersiul dan meniru suara elang (nguik) sebanyak tujuh kali, jangan masuk ke dalam rumah melalui tangga pintu dapur, jangan melewati bawah jemuran, dan tidak boleh langsung masuk ke ruang tamu. Doakng harus masuk melalui tangga depan, dan berhenti di pintu dan menari-nari, kepala harus diletakan pada pahar (tempat khusus dari tembaga yang biasanya digunakan untuk meletakan bahan persembahan), lantai di alas bide/bidai (tikar yang terbuat dari anyaman rotan dan kulit kayu), kemudian pahar yang berisi kepada tadi diletakan diatas tempayan jampa (tempayan besar dan berukir), lalu dipasangi pelita. 


Sesampainya di rumah, Doakng menuruti pesan ini. Lain halnya dengan salah satu dari kamang yang berpesan kepada Doakng yaitu kamang Bujakng Nyangko, dia lewat dan menari-nari dari tepi dan melewati bawah jemuran, seketika itu juga dia tewas, jasadnya disemayamkan satu hari satu malam, kemudian dikubur. Pada saat itulah Kamang mengajari Doakng membuat pantak (patung dari kayu). Pantak ditujukan untuk mengganti orang yang sudah meninggal, arwahnya kelak akan tinggal dalam pantak yang dibuat.

Kamang Nyado, mengajari Doakng membuat pantak kamang Bujakng Nyangko. Alat yang digunakan kayu besi (belian) diukir dengan riti (alat ukir dari logam) tujuh jengkal, parang, baliukng/beliung (kapak), pahat, dan besi untuk membuat lubang (bor). Ayam jantan berbulu merah dan paha babi dipersembahkan dan didoakan saat membuat pantak. Pantak dipahat dengan tidak dibolak-balik (posisi tetap), dimulai dari kepala. Doakng melakukan semua perintah kamang Nyado. Setelah selesai menguburkan jasad Bujakng Nyangko, Doakng kemudian melakukan tariu (teriak perang) sebanyak satu kali untuk mencari kayu belian sebagai bahan untuk membuat pantak, setelah mendapatkannya kemudian kayu belian di bawa ke rumah dan dipahat depan pintu selama tiga malam, setelah selesai baru boleh dimasukan dalam rumah dan menjelang senja, Doakng memperlakukannya seperti jasad manusia, dimandikan lalu meminyakinya dan memberinya makan. Setelah itu dia kemudian membunyikan gong dan dau (gong kecil), lalu menari. Pantak tadi tiba-tiba seperti bernyawa, lalu menari-nari bersama Doakng, semalam suntuk.

Pada akhirnya setelah semuanya selesai Doakng mengajari orang tuanya untuk membuat pantak. Ketika ayahnya Ne' Ragen meninggal, dia membuat pantak seperti yang dulunya dia buat untuk kamang Nyangko. Pada saat Doakng menari, dan pantak itu pun ikut juga menari, ibunya tidak kuasa menahan sedihnya ketika ditinggalkan suaminya Ne' Ragen, dipeluknya Pantak Ne Ragen yang sedang menari tersebut, lalu diciumnya. Hal itu sesungguhnya tidak boleh dilakukan, tetapi semuanya sudah terlanjur. Patung kayu (Pantak) yang tadinya bisa menari-nari, kemudian diam dan kembali seperti patung kayu biasa.

Konon juga pantak dibuat bagi seorang berilmu tinggi/panglima yang sudah meninggal. Pantak diukir menyerupai manusia pada sebuah kayu belian sebagai nisan di mana panglima itu dikuburkan atau dibuat.

Kini pantak salah satu bukti reliji pada suku Dayak Kanayatn yang sudah terkikis dan berkurang keberadaannya. Bukti dan hasil budaya ini kerap dijadikan bisnis dijual dengan harga yang bervariasi dan mahal sesuai ukurannya kepada orang asing. Pada masa mendatang bisa mendatangkan kualat bagi anak cucu perusak peninggalan ini.


Referensi:
http://ceritadayak.blogspot.com
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url