Perjanjian antara nek patinia dan buaya cerita lisan Dayak Pandu Sanggau Kapuas

Kita pasti pernah mendengarkan orang tua, kakek atau nenek mendongeng. Sastra lisan ini berbentuk cerita yang biasanya dituturkan dengan cara yang sangat menarik, menghibur/lucu, dan memiliki makna yang sangat mendalam bila direnungkan. Bagaimana tidak makna yang terkandung ini tersirat unsur nilai-nilai budaya yang mendalam. Nilai-nilai yang tersirat biasanya menggambarkan baik buruk perilaku manusia terhadap sesama, alam, dan sang pencipta.  

Berbagai macam suku bangsa memiliki kekayaan lisan ini bila tidak ditulis maka akan punah, sayang sekali bukan! Oleh karena terkesan dengan makna mendalam cerita lisan ini dalam kesempatan ini Saya menulis cerita yang berasal dari kelompok suku Dayak Pandu Sanggau Kapuas Kalimantan Barat.

Konon ada seorang tua bernama nek patinia yang dikenal sebagai nek Dayak dan patirohakng (Indonesia: patirohang) seorang nek Buaya. Dituturkan dari mulut ibu saya bahwa antara nek patinia dan patirohakng tidak memiliki hubungan kekerabatan kala itu. Hubungan baik malah terjadi ketika keduanya tidak sengaja bertemu dan mengadakan perjanjian karena nek patinia menolong salah satu anggota (anak buaya) dari kelompok nek patirohakng. Begini ceritanya.

Ketika itu ada anak buaya sedang mengalami sakit mulut akibat terkena pancing nelayan. Berbagai cara dilakukan namun tidak membuahkan hasil. Nek patirohakng melihat kondisi anak buaya ini sangat sedih dan berupaya mencari pertolongan dari penjuru negeri namun tidak ditemukan. Pencarian tabib terus dilakukan dan sampailah pada sebuah perkampungan Dayak di mana nek patinia tinggal. Nek patirohakng juga sudah mengetahui bahwa nek patinia dapat menyembuhkan penyakit yang diderita seekor anak buaya tadi. 

Percakapan pun dimulai bahwa nek patinia akan menyembuhkan anak buaya tersebut. Hari berganti hari akhirnnya sakit mulut anak buaya tersebut sembuh juga. Oleh karena rasa gembira yang tiada taranya nek patirohakng memerintahkan kepada segenap buaya yang ada di sungai kapuas masing-masing membawa emas sebagai ucapan terima kasih kepada nek patinia (nek Dayak). Proses transaksi dilakukan di tengah sungai dengan perahu namun sayang tempat yang disediakan oleh nek patinia berlobang sehingga semua emas yang diberikan jatuh semuanya ke sungai kapuas.

Melihat itu, nek patinia tidak langsung marah namun justru membuat perjanjian dengan segenap anggota nek patirohakng (nek buaya). Perjanjiannya bahwasegenap anggota dan keturunan nek patirohakng tidak boleh melukai suku Dayak sekitar sungai tersebut meskipun mereka berada di tengah sungai baik dalam keadaan untung dan malang. Oleh karena perjanjian tersebut sampai saat ini masyarakat Suku Dayak Pandu bersahabat dengan buaya, bahkan buaya di sungai tersebut tidak melukai masyarakat sekitar yang penting keduanya tidak pernah saling mengganggu.

Dari cerita singkat di atas sekilas kita menyangka bahwa nek patinia orang yang "bodoh" mana mungkin tempat untuk menyimpan emas di atas perahu bisa bocor. Namun saya pikir bukan ini makna yang menjadi permenungan saya. Cerita menggambarkan bahwa orang Dayak memang tidak memiliki harta emas, perak dan lain sebagainya sebagai warisan kepada anak cucunya melainkan bagaimana antara keduanya saling menjaga dan melestarikan. Memang alam dan segala isinya mesti dijaga, bila tidak dijaga berarti kita telah melalaikan isi perjanjian kita dengan Tuhan Sang Maha Pencipta.

Sanggupkah kita menjaga alam dan segala isinya?Yang jelas dosa memperhamba kita dan menjadikan kita serakah, sehingga dengan gampang kita menjual alam ini demi keuntungan semata tanpa memikirkan kelangsungan hidup anak cucu mendatang. Kiranya cerita nek patinia dan patirohakng di atas memberikan sedikit gambaran mengapa kita mesti melestarikan alam yang sudah sekarat ini. Semoga.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url