Minta maaf saja tidak cukup dengan kata-kata kalau bukan dengan adat Dayak Simpang ini.
Kata maaf tidak cukup dibibir saja begitu lantunan lagu cinta yang biasa kita dengar. Pernyataan ini mau memaknai kata maaf itu sendiri tidak cukup hanya diucapkan, namun memerlukan komitmen perubahan sikap dan tindakan ke arah yang lebih baik.
Kata maaf sudah biasa kita ucapkan ketika kita menyadari kesalahan dan dengan rendah hati berani meminta maaf dan memaafkan orang lain. Ucapan maaf sebenarnya memiliki arti bahwa seseorang sudah mencoba berdamai dengan dirinya sendiri sebelum bermaafan dengan orang lain. Diterima atau tidak diterimanya maaf kamu yang penting sudah minta maaf.
Maaf selain diucapkan juga meminta tanda. Dalam adat Dayak tanda maaf seseorang dinilai dengan mewajibkan orang yang dihukum menyediakan "tebusan" sebagai syarat sanksi adatnya dalam bentuk barang. Adat ibarat tangga, bisa naik bisa turun tergantung berat ringannya kesalahan, tempat kejadian, dan status.
Penjatuhan sanksi adat melalui suatu proses musyawarah adat yang melibatkan pihak yg berselisih atau yang merasa dirugikan bersama para tokoh adat disaksikan dengan tokoh masyarakat setempat mencari penyelesaian permasalahan yang ada dengan takaran adat yang seadil-adilnya. Adil maksudnya tidak berat sebelah dan menjadi acuan/standar sanksi adat selanjutnya.
Pengalaman penjatuhan sanksi adat ini terjadi di Kabupaten Kayong Utara tepatnya di Desa Sungai paduan kecamatan Teluk Batang malam Sabtu, 09 Februari 2018 lalu, di mana Pak Anton Beken selalu tokoh adat Dayak Simpang mengenakan adat "salah basa" kepada kedua karyawan bengkelnya yang ketika itu sedang cek cok berselisih paham mungkin disebabkan capai bekerja.
Adat yang digunakan adalah Adat Dayak Simpang, di mana Pak Anton Beken sendiri berasal dari Simpang Dua, Kabupaten Ketapang. Menurut Adat Dayak Simpang Kabupaten Ketapang besar kecil sanksi adat "salah basa" yang dikenakan kepada seseorang tergantung salah satunya oleh apakah orang terbut memiliki jabatan penting (pejabat publik), atau dituakan/tokoh dikalangannya. Sebab berlaku istilah "Beruang makan tampang, ngilu kora' pote" berarti pemimpin yang melakukan tindakan melanggar tata krama atau moral sanksi adat "salah basa" dikenakan dua kali lipat. Semestinya 2 piring, segenggam beras, dan 1 ekor ayam, maka menjadi 4 piring, segenggam beras, dan 1 ekor ayam.
Penting juga dicatat, menurut pak Anton Beken, Dia tidak sama sekali menghukum kedua karyawan bengkelnya tersebut, melainkan Dia ingin menegakan hukum adat yang sudah mendarah daging dalam hidup Dayak Simpang, dimana bila ada orang yang membuat kegaduhan di lingkungan rumahnya wajib memenuhi adat maaf yang di sanksikan kepada mereka melalui adat Dayak Simpang sesuai takaran kesalahan yang diperbuat.
Empunya rumah tempat berselisih dapat saja tidak menerima permintaan maaf meskipun sudah memenuhi adat salah basa. Pihak yang dirugikan dapat mengajukan banding dengan menghukum balik pihak yang berselisih. Biasanya adat ini akan semakin berat karena selain mempersiapkan perlengkapan sanksi adat juga menanggung segala makan minum tuak-arak selama prosesi adat berlangsung sesuai tata cara adat Dayak Simapang Kabupaten Ketapang. Dengan demikian adat menjadi naik karena kesalahan sudah fatal.
Pada bagian terakhir dari musyawarah Adat tersebut dengan membagikan piring kepada para saksi-saksi yang ikut dalam proses memutus perkara, selain itu sesi akhir tersebut berisi pesan-pesan bahwa semua masalah sudah diselesaikan secara musyawarah pada saat itu. Bila di luar dan/atau kemudian hari kedua belah pihak yang berselisih masih membicarakan dan mengungkit kembali permasalahan yang ada sehingga muncul dan berdampak lebih besar lagi, maka pihak yang dirugikan (Pak Anton Beken) dapat menaikan sanksi adatnya (adat naik) menjadi Tali Penyerang Adat 20, artinya sanksi adat kepada para pelaku mempersiapkan 20 real (satuan adat diganti dengan piring sebanyak 20 buah).
Pada tingkat perselisihan yang berat misalkan saling mengancam, terjadi penyerangan dan sampai mengeluarkan darah maka tuntutan lebih berat lagi menjadi setengah pati.
Penjatuhan Sanksi Adat mengandung sebuah komitmen dan sportifitas dengan sudah terpenuhinya sanksi adat tersebut, sehingga semua pihak dengan rendah hati, saling menghormati, dan saling memaafkan, sehingga kedamaian tercapai bersama dalam hidup bermasyarakat.
Adat yang digunakan adalah Adat Dayak Simpang, di mana Pak Anton Beken sendiri berasal dari Simpang Dua, Kabupaten Ketapang. Menurut Adat Dayak Simpang Kabupaten Ketapang besar kecil sanksi adat "salah basa" yang dikenakan kepada seseorang tergantung salah satunya oleh apakah orang terbut memiliki jabatan penting (pejabat publik), atau dituakan/tokoh dikalangannya. Sebab berlaku istilah "Beruang makan tampang, ngilu kora' pote" berarti pemimpin yang melakukan tindakan melanggar tata krama atau moral sanksi adat "salah basa" dikenakan dua kali lipat. Semestinya 2 piring, segenggam beras, dan 1 ekor ayam, maka menjadi 4 piring, segenggam beras, dan 1 ekor ayam.
Penting juga dicatat, menurut pak Anton Beken, Dia tidak sama sekali menghukum kedua karyawan bengkelnya tersebut, melainkan Dia ingin menegakan hukum adat yang sudah mendarah daging dalam hidup Dayak Simpang, dimana bila ada orang yang membuat kegaduhan di lingkungan rumahnya wajib memenuhi adat maaf yang di sanksikan kepada mereka melalui adat Dayak Simpang sesuai takaran kesalahan yang diperbuat.
Empunya rumah tempat berselisih dapat saja tidak menerima permintaan maaf meskipun sudah memenuhi adat salah basa. Pihak yang dirugikan dapat mengajukan banding dengan menghukum balik pihak yang berselisih. Biasanya adat ini akan semakin berat karena selain mempersiapkan perlengkapan sanksi adat juga menanggung segala makan minum tuak-arak selama prosesi adat berlangsung sesuai tata cara adat Dayak Simapang Kabupaten Ketapang. Dengan demikian adat menjadi naik karena kesalahan sudah fatal.
Pada bagian terakhir dari musyawarah Adat tersebut dengan membagikan piring kepada para saksi-saksi yang ikut dalam proses memutus perkara, selain itu sesi akhir tersebut berisi pesan-pesan bahwa semua masalah sudah diselesaikan secara musyawarah pada saat itu. Bila di luar dan/atau kemudian hari kedua belah pihak yang berselisih masih membicarakan dan mengungkit kembali permasalahan yang ada sehingga muncul dan berdampak lebih besar lagi, maka pihak yang dirugikan (Pak Anton Beken) dapat menaikan sanksi adatnya (adat naik) menjadi Tali Penyerang Adat 20, artinya sanksi adat kepada para pelaku mempersiapkan 20 real (satuan adat diganti dengan piring sebanyak 20 buah).
Pada tingkat perselisihan yang berat misalkan saling mengancam, terjadi penyerangan dan sampai mengeluarkan darah maka tuntutan lebih berat lagi menjadi setengah pati.
Penjatuhan Sanksi Adat mengandung sebuah komitmen dan sportifitas dengan sudah terpenuhinya sanksi adat tersebut, sehingga semua pihak dengan rendah hati, saling menghormati, dan saling memaafkan, sehingga kedamaian tercapai bersama dalam hidup bermasyarakat.